AIYEP 2018Fish and Chips, Sambal Santan
Pengalaman fantastis empat bulan
Rizki Ramadhanissa
AIYEP 2018
AIYEP (Australia Indonesia Youth Exchange Program) changed my life, saya rasa kalimat itu sangat familiar diantara lebih dari seribu alumni program Pertukaran Pemuda Indonesia Australia ini. AIYEP sendiri bagi saya adalah sebuah jeda dalam hidup yang sangat unik. Jika waktu berjalan secara abstrak dalam jeda itu, maka 4 bulan ekuivalen dengan 4 tahun. Kenapa? Karena setiap harinya dalam AIYEP sangat banyak yang terjadi dan saya selalu belajar hal baru. Hal ini dibuktikan setiap kali saya tenggalam dalam keaktifan program yang sampai membuat saya lupa kapan satu kejadian terjadi, apakah hari ini? kemarin? dua hari yang lalu? Yang pasti kejadian itu mengajarkan saya sesuatu.
AIYEP seperti yang selalu diucapkan spokespeople kami merupakan program kerjasama pemerintah Indonesia dan Australia yang terbesar mendatangkan 18 pemuda terbaik dari Indonesia ke Australia dan bersama 18 pemuda terbaik dari Australia ke Indonesia untuk melakukan pertukaran kebudayaan. Highlightpenting lain dari AIYEP adalah profesionalisme. Hal ini terlihat dari lebih 60% program adalah tentang profesionalisme melalui kerja magang yang sudah didesain sedemikan rupa.
AIYEP merupakan sebuah perjalanan empat bulan yang dibagi dalam dua fase (fase Australia dan fase Indonesia) yang kemudian di breakdown lagi menjadi 4 fase (Australia kota, Australia regional, Indonesia Desa, Indonesia Kota). Masing-masing fase berdurasi kurang lebih satu bulan. Dalam rangkaian fase itu terdapat elemen-elemen krusial lainnya yaitu tinggal bersama keluarga angkat, penempatan kerja, pengembangan masyarakat, penampilan budaya, dan kunjungan formal ke institusi pemerintah.
Fase pertama program, saya mendapatkan salah satu penempatan kerja yang terbaik di Melbourne, dimana semua orang terkejut ketika mengetahuinya. Saya berkesempatan untuk bekerja di Department of Cabinet and Premier pemerintah Victoria. Lebih strategis lagi saya ditempatkan di International Engagement Team sesuai dengan latar belakang pendidikan saya di Ilmu Hubungan Internasional. Saya diberikan tanggung jawab untuk merepresentasikan tim dalam pertemuan tingkat tinggi dan kemudian melakukan riset terhadap peluang kerjasama Victoria dengan Indonesia dalam bidang pendidikan tinggi. Saya juga diberi tantangan untuk bisa membuat sebuah proposal perjalanan untuk kunjungan resmi pemerintah negara bagian Victoria ke Indonesia. Saya juga tidak jarang diajak ke berbagai pertemuan penting untuk bisa melihat bagaimana sebuah meeting dilaksanakan di Australia. Saya juga telah membangun koneksi dengan rekan kerja saya di kantor.
Bukan hanya tempat kerja saya yang menarik dan penuh dengan ilmu pengetahuan, saya juga memiliki keluarga angkat yang sangat baik dan perhatian. Keluarga Lewis, begitu yang tertulis disecarik kertas yang diberikan kepada saya tentang informasi keluarga angkat saya. Begitu bertemu saya langsung memeluk dan bertanya apakah saya bisa memanggil mereka Mum and Dad! dan mereka langsung berkata Yes! Saya sangat bahagia, mereka memperlakukan saya seperti anak sendiri juga seperti orang dewasa yang berhak menentukan apa yang ingin saya lakukan. Setiap pagi Mum Jenny membangunkan saya dengan memanggil saya princess, rasanya seperti di dalam acara tv saja. Beberapa kali saya melewatkan makan malam dan fish and chips kesukaan dad karena ingin pergi dengan teman untuk makan malam. Di detik saya menulis artikel ini saya masih sering berkomunikasi dengan mereka sekedar menanyakan kabar. Saya pikir saya sangat beruntung di Melbourne!
Sebulan berlalu aroma fase kedua mulai tercium, namun sangat beruntung kami dapat merasakan liburan selama kurang lebih tiga hari di Canberra. Kami juga sempat melakukan kunjungan formal ke Kedutaan Besar Republik Indonesia saat itu dan bertemu para wakil Indonesia untuk Australia. Fase regional Australia pun memanggil, Bendigo here I come!
Fase ke dua di Bendigo Australia, saya mendapatkan kesempatan untuk magang di tempat yang saya yakini dari awal akan saya sukai yaitu sekolah! Saya ditunjuk untuk magang di Bendigo South East (BSE) College, membantu guru Bahasa Indonesia disana. Kesan pertama kali saya masuk di sekolah adalah luar biasa! Seluruh murid sangat antusias untuk menerima saya, bertanya dari mana saya berasal dan makanan Australia kesukaan saya. Tentu saja saya jawab fish and chips! Di Bendigo South East College saya dibebaskan oleh Alisha supervisor saya untuk memilih kelas yang menurut saya menarik selain membantu di kelas Bahasa Indonesia. Saya memilih kelas seni karena saya memang tertarik, saya bahkan diizinkan untuk ikut dalam proses produksi teater BSE dan murid-murid BSE sangat hebat dalam berakting. Saya bisa melihat mereka menjadi aktris dan aktor dimasa depan. Kelas lain yang menurut saya menarik adalah self-directed learning dimana seluruh siswa dikumpulkan di sebuah ruangan besar dan selama 30 menit pertama mereka akan membaca buku dan 45 menit setelahnya murid bisa mengerjakan proyek pribadi atau grup mereka menciptakan sebuah inovasi yang menurut saya sangat menarik dan akan bermanfaat untuk diterapkan di Indonesia. Hal paling menarik yang saya pelajari baik di tempat saya bekerja di Melbourne dan Bendigo adalah kasualitas di tempat kerja yang mencapai titik dimana seseorang harus merasakan sendiri keseruannya.
Di Bendigo, saya menemukan keluarga baru dengan orang tua baru kali ini bernama keluarga Trebilcock. Seperti biasa AIYEP memang penuh kejutan, saya kali ini tinggal bersama salah satu delegasi Indonesia yang berasal dari Provinsi Aceh dan sudah menjadi kakak saya dari hari pertama kami bertemu. We were thrilled! ditambah lagi ketika bertemu mum and dad yang baru di Bendigo yang ternyata bisa berbahasa Indonesia bahkan bahasa sunda! The program just getting better and better. Fase di Bendigo berakhir sangat cepat, mungkin karena kami berdua merasa berada di rumah sendiri. Kami bisa membuka lemari es dan memakan es krim yang sudah disediakan kapanpun kami mau, atau sekedar memasak mie instan. Perpisahan di Bendigo pun menjadi yang paling mengharukan karena kami dipertemukan kembali dengan keluarga dari Melbourne di satu tempat yang sama di kesempatan yang selalu saya tunggu-tunggu yaitu penampilan budaya.
Selama program saya dan teman saya dari Maluku bertanggung jawab atas semua penampilan budaya yang kami lakukan sebagai bentuk pertukaran budaya secara fisik di setiap undangan ke sekolah-sekolah dan acara-acara tertentu. Ada lebih dari 15 penampilan budaya yang telah kami lakukan selama berada di Australia dan kami menikmati setiap penampilan budaya tersebut, tersenyum bangga mengenakan baju adat, menyanyi dan menarikan tari daerah masing-masing.
Akhirnya masuklah fase Indonesia yang dengan sangat mengejutkan tidak kalah menyenangkan dari fase Australia. Kami dipertemukan dengan 18 delegasi Australia dalam joint orientation di Melbourne. Di saat itu pula takdir menyapa, saya dipertemukan dengan counterpart saya, teman hidup saya selama dua bulan di Riau menikmati kuliner yang kaya akan santan khas daerah barat Indonesia itu. Won Hae namanya, tapi kami biasa memanggilnya Wonny. Wonny berasal dari Korea dengan kewarganegaraan Australia. Dia adalah seorang perempuan yang sangat menarik, sangat baik hati dan penuh dengan aura positif. Pernahkah kalian bertemu seseorang yang selalu melihat hal positif dari segala hal hingga kalian berkata dalam hati “seriously?” Ya! Wonny adalah salah satu dari orang-orang itu. Hingga saat ini Wonny lah tempat saya meminta segelas air kehidupan ketika saya merasa haus akan indahnya dunia. Kami berdua sangat kompak dan berbagi tentang segala sesuatu begitu sampai di kamar, baik itu di hotel maupun di rumah orang tua angkat kami di kedua fase yang sangat baik dan hangat.
Di fase Indonesia pertama, saya dan 34 pemuda pemudi hebat dari Indonesia dan Australia tinggal di desa Sungai Mempura, Kabupaten Siak, Provinsi Riau melakukan pengembangan masyarakat atau community development. Dalam program community development kami, saya masuk ke dalam tim seni budaya dan pariwisata. Saya bersama tim sepakat mengadakan beberapa program yaitu workshop optimalisasi media sosial, pembuatan mural masyarakat, dan pelestarian Tari Zapin. Community development kami akhiri dengan mengadakan perpisahan dengan warga dan menampilkan Tari Zapin yang telah kami pelajari selama program sebagai bentuk apresiasi kami terhadap warga. Tari Zapin pula yang menjadi simpul senyuman terakhir yang bisa kami tunjukkan kepada Mamak dan Bapak sebelum tangis membanjiri pelupuk mata kami ketika mengucapkan selamat tinggal kepada mereka dan Afni adik kecil saya dan Wonny di Sungai Mempura. Pengalaman di desa sangat melekat di setiap hati delegasi Indonesia dan Australia, kami pergi ke kota Pekanbaru dengan hati yang terluka namun juga terbuka bersiap menerima senyuman lain di sana.
Di fase terakhir, yaitu fase kota Indonesia. Saya kembali melakukan magang, namun kali ini berbeda karena saya mendapatkan partner kerja satu orang delegasi Indonesia dan satu orang delegasi Australia. Mereka adalah Rizka dan Oscar. Kami berkesempatan untuk magang di Universitas Muhammadiyah Riau di departemen bahasa Inggris. Saya dan Oscar yang tidak memiliki pengalaman mengajar yang formal awalnya bingung harus seperti apa dalam melaksanakan tugas kami mengajarkan bahasa Inggris secara efektif kepada dosen dan mahasiswa, dan kami sangat beruntung atas kehadiran Rizka yang memang memiliki latar belakang pendidikan keguruan. Pada akhirnya kami bertiga menjadi sangat akrab dan dirindukan oleh semua orang di tempat magang kami.
Program empat bulan yang terasa seperti empat tahun itu pun mau tidak mau harus berakhir. Saya harus mengucapkan selamat tinggal kepada orang-orang yang sudah terlalu melekat dan mendefinisikan hidup saya selama empat bulan. Saya harus mengucapkan selamat tinggal kepada semua anak muda menginspirasi yang dengan mereka saya telah bernyanyi, menari, bertukar pikiran. Kami semua harus kembali ke daerah untuk berkontribusi. Tetapi, kami semua sepakat bahwa itu bukan sebuah perpisahan melainkan sebuah awal perjuangan untuk pertemuan di masa depan.